Melatih Anak Berpuasa, Sebuah Tinjauan Kesehatan dan Psikobiologi

thumb click to zoom
Ditambahkan 18.51
Kategori Artikel
Harga @ Melatih Anak Berpuasa, Sebuah Tinjauan Kesehatan dan Psikobiologi By rootmms on Oktober 31, 2012 Puasa Ramadhan adalah ibadah yang ag...
Share
Hubungi Kami
CARA BELI

Review Melatih Anak Berpuasa, Sebuah Tinjauan Kesehatan dan Psikobiologi

@
Melatih Anak Berpuasa, Sebuah Tinjauan Kesehatan dan Psikobiologi
By rootmms on Oktober 31, 2012

Puasa Ramadhan adalah ibadah yang agung yang telah disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang merupakan salah satu pilar dari sekian rukun Islam. Di balik disyariatkannya ibadah puasa, terkandung didalamnya berbagai faedah dan hikmah yang begitu mulia bagi kehidupan manusia. Sebagian hikmahnya itu ada yang mampu diketahui oleh manusia, sedangkan sebagian lainnya tidak.

Karena mulianya ibadah puasa tersebut, sudah sepantasnyalah kita sebagai orang tua untuk mempersiapkan anak-anak kita, agar sejak dini dapat berlatih menjalankan puasa di bulan Ramadhan. Berdasarkan nash-nash al-Qur’an dan al-Hadits, merupakan kewajiban bagi setiap orang tua untuk mendidik, melatih, serta membiasakan anak-anaknya untuk beribadah, termasuk menjalankan puasa Ramadhan. Tentu saja, pembiasaan ini hendaknya disesuaikan dengan kemampuan mereka, sebagai upaya mempersiapkan diri dalam beribadah.

Di antara persiapan yang selayaknya dilakukan oleh orang tua adalah dengan melatih berpuasa sebelum tiba masa ‘taklif’ mereka, yaitu masa dimana seorang hamba sudah terbebani kewajiban syariat.

Kapan Anak Diwajibkan Berpuasa?
Pada dasarnya, batasan diwajibkannya berpuasa, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama, adalah ketika anak mulai memasuki usia akil balig. Masa balig pada anak laki-laki, diketahui dari salah satu tandanya, yaitu: keluarnya mani atau sperma karena syahwat, tumbuhnya bulu di sekitar kemaluan, mimpi basah (mimpi yang menyebabkan keluar mani), atau telah mencapai usia 15 tahun. Demikian halnya pula bagi anak perempuan. Hanya saja, terdapat satu hal lagi yang membedakannya, yaitu keluarnya haid.

Kapan Anak mulai Dilatih dan Dibiasakan Berpuasa?
Seperti halnya ibadah shalat, maka puasa sudah dapat diperkenalkan pada anak sejak usia enam atau tujuh tahun. Dalam sebuah hadits, dari sahabat Sabrah bin Ma’bad al-Juhani Radliyallahu Anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat pada usia 7 tahun dan pukullah mereka pada usia 10 tahun (jika meninggalkannya).” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Hadits ini mengandung perintah untuk melatih ibadah shalat bagi anak-anak kita, dan dapat diterapkan pada ibadah lainnya seperti halnya puasa.

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah, bersandarkan pada hadits ini, beliau mengatakan agar dianjurkan bagi orang tua untuk mulai melatih anak-anak untuk berpuasa.

Pada masa khalifah Umar bin al-Khattab Radliyallahu Anhu, anak-anak telah dibiasakan untuk melaksanakan puasa. Bahkan, disebutkan bahwasanya beliau sangat marah kepada orang yang mabuk di bulan Ramadhan.

Beliau a berkata:
“Celaka engkau, sedangkan anak-anak kecil kami saja melaksanakan puasa.” (Hadits dikeluarkan oleh al-Imam al-Bukhari, Bab Shaum as-Shibyan, 29-30).

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah telah memberikan nasihat dalam kitabnya ad-Da’wah. Beliau berkata ”Sudah semestinya bagi waliyul amr (orang tua) yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala beri tanggung jawab keluarga dan anak-anak, adalah untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu dengan memerintahkan pada mereka apa-apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan dari syariat Islam.”

Akan tetapi, sebagian orang yang tidak memahami syariat ini kemudian memunculkan suatu anggapan bahwa tindakan para orang tua memerintahkan anaknya berpuasa termasuk dalam tindakan kekerasan. Maka, anggapan ini merupakan jalan pikiran yang tidak memiliki dasar sama sekali dan dapat dibantah dengan penjelasan-penjelasan sebagai berikut:

Pertama, melatih anak berpuasa tidak sama dengan mewajibkan mereka berpuasa. Sebagaimana kita ketahui seorang anak tidak dibebani syariat sampai ia mencapai usia balig. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Pena diangkat dari tiga orang: orang yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai balig, dan orang gila sampai sadar.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Irwa)
Kedua, dalam melatih anak berpuasa, orang tua haruslah mempertimbangkan kondisi dan kemampuan si anak. Dalam al-Qur’an telah dijelaskan,
ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜﯝ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (al-Baqarah: 286)

Meskipun ditinjau secara fisik dan psikologis, pada umumnya anak usia 6–10 tahun dipandang telah memiliki kesiapan yang memadai untuk melakukan puasa. Walaupun demikian, orang tua tetap harus memerhatikan kondisi dan kemampuan anak mereka selama berpuasa.

Dari kedua penjelasan ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa memerintahkan puasa bagi anak-anak merupakan proses pembelajaran. Sebagai sebuah sarana untuk membiasakan anak beribadah kepada Allah n. Hal ini dimaksudkan agar pada saatnya nanti, apabila si anak telah mencapai masa balig, maka ia telah terbiasa untuk melaksanakan ibadah ini dengan tanpa beban yang berarti.

Dasar Ilmiah dan Psikologis
Melatih dan membiasakan suatu ibadahkepada anak-anak, tidaklah dilakukan begitu saja tanpa dasar dan sebab. Al-Quran dan as-Sunnah telah secara jelas membimbing kita terkait dengan permasalahan tersebut, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Telah dijelaskan pula, bahwa sebab untuk melatih anak berpuasa sejak usia dini adalah untuk mempersiapkan mereka menghadapi masa balig, masa dimana seorang hamba sudah terbebani dengan kewajiban syariat.

Adapun pijakan ilmiah dan psikologis dalam melatih anak untuk beribadah kepada Allah n sejak dini antara lain sebagai berikut:
Bahwa anak itu terlahir dalam keadaan fitrah, sebagaimana telah maklum dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Maksudnya bahwa anak-anak mudah dibentuk sesuai dengan apa yang dikehendaki syariat Islam.

Anak pada usia dini lebih mudah menerima nilai dan kebiasan yang kita tanamkan sekaligus meyakininya. Selain itu, masa anak-anak adalah masa yang sangat menentukan bagi pembentukan kepribadiannya di masa datang. Perkara yang baik maupun buruk yang dialami pada masa anak-anak, akan mempunyai pengaruh yang besar dalam hidupnya kelak.

Daya ingat anak-anak masih kuat pada masa kecil mereka. Pepatah Arab mengatakan: “Belajar di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu, sedangkan belajar sesudah dewasa bagaikan mengukir di atas air”.

Telah dipahami, bahwa anak dengan usia 5 tahun ke bawah akan mengenal orang tua sebagai tokoh utamanya. Kemudian, jika dia bertambah besar, maka lingkungan pergaulannya melebar dari lingkungan yang berada hanya di sekitar rumahnya kepada lingkungan yang lebih luas lagi, sehingga anak juga mulai mengidentifikasi perilaku orang lain di sekitarnya. Maka, sebelum mereka banyak menyerap kondisi lingkungan di sekitarnya, saat itulah pembelajaran sudah harus dimulai sejak dini dengan pembelajaran yang sesuai dengan syariat.

Bahwasanya mendidik anak tidak sama dengan mengajar. Mendidik anak adalah proses membimbing anak dalam mencapai kedewasaannya, baik dari aspek akal, fisik, maupun psikologisnya. Jadi, apa-apa yang dilakukan oleh orangtua, sebenarnya adalah dalam rangka membantu anak untuk mengenal dan mengetahui sesuatu, sehingga kemudian anak-anak mau dan kemudian menjadi terbiasa dan terampil mengamalkannya.
Memberikan pendidikan kepada anak-anak bukan saja membutuhkan waktu yang lama, akan tetapi juga membutuhkan kemauan yang kuat, kasabaran, dan keuletan dari orang tua. Terkait dengan kenyataan ini, semakin awal orang tua mulai mendidik anak-anaknya, maka semakin baik hasilnya, biidznillah.

Kiat dan Motivasi
Kiat utama dalam melatih berpuasa kepada anak adalah sebagaimana tergambar pada sebuah hadits dari sababat ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang pada pagi hari asy-Syura ke perkampungan orang-orang Anshar yang ada di sekitar Madinah, kemudian orang itu berkata:
“Siapa yang pagi ini berpuasa maka hendaklah ia berpuasa dan menyempurnakan puasanya dan siapa yang sejak pagi dalam keadaan berbuka, maka sempurnakan dengan puasa pada sisa waktu di hari ini.”
Setelah itu perawi tersebut berkata:
“Maka kami pun menyempurnakan dengan puasa pada hari itu dan kami mengajak anak-anak kami berpuasa. Mereka kami ajak ke masjid, lalu kami beri mereka mainan dari bulu. Jika di antara mereka ada yang menangis meminta makan, maka kami berikan mainan itu, sampai datang waktu berbuka.” (HR. al-Imam al-Bukhari dan Muslim).

Hadits tersebut mengajarkan kepada kita untuk bersikap bijak dan lembut dalam mendidik anak, dan juga bahwa salah satu metode yang tepat dalam melatih anak berpuasa diantaranya adalah melalui permainan. Bukankah bermain itu dunia anak-anak? Namun, perlu diperhatikan pula bahwasanya tetap tidak boleh ada unsur paksaan dan kekerasan dalam mendidik anak-anak. Justru sebaliknya, orang tua harus memperhatikan kondisi dan kemampuan anak, di samping mengupayakan cara-cara untuk memotivasi dan membuat anak-anak tetap merasa gembira pada saat berlatih berpuasa.

Tips dalam Melatih Berpuasa pada Anak.
Pada prinsipnya, membimbing dan melatih anak berpuasa adalah dengan memberikan motivasi kepada mereka agar mau melaksanakan latihan puasa, melalui cara-cara yang menggembirakan, dan dalam berbagai bentuk yang sesuai dengan fitrah dan dunia mereka, serta didalamnya tidak terdapat pelanggaran terhadap syariat.

Di antara tips atau metode untuk melatih berpuasa kepada anak-anak adalah:
Orang tua dapat membagi tahapan puasa sesuai dengan kondisi dan kemampuan anak. Misalnya, puasa dari waktu Subuh sampai dengan waktu Zuhur, kemudian dilanjutkan atau ditingkatkan mulai saat Subuh sampai dengan waktu Asar. Kemudian, setelah dirasa mampu, dapat ditingkatkan sampai tahap puasa sempurna, yaitu dari mulai waktu Subuh sampai dengan Magrib.

Dengan cara membuatkan mainan untuk mereka, dan mengajak mereka bermain bersama seperti yang dikisahkan kaum Anshar di Madinah saat puasa asy-Syura’. Sebagai contoh, orang tua dapat mengajak anak-anak mereka ke masjid. Namun, meskipun anak telah dianggap memiliki kondisi dan kemampuan yang cukup prima untuk melaksanakan puasa, akan tetapi motivasi dari orang tua sangat diperlukan agar kekuatan dan kemauannya dalam menunaikan puasa itu tetap terjaga.

Selain itu, hal yang perlu diperhatikan adalah hendaknya orangtua membantu mencari kegiatan dan permainan yang sesuai dengan kondisi tubuh pada saat berpuasa. Sebagai contoh, anak-anak sebaiknya dicarikan jenis permainan yang lokasinya berada di tempat yang teduh, dan dicarikan waktu pada saat sore hari, yaitu menjelang berbuka. Jenis permainan yang menyita tenaga lebih, sebaiknya dihindarkan, karena dapat membuat anak-anak cepat merasa lapar dan haus.

Memberikan kata-kata pujian yang menunjukkan bahwa orang tua merasa bangga memiliki anak yang meskipun masih kecil, akan tetapi sudah mampu melaksanakan puasa seperti layaknya orang dewasa. Misalnya dengan kalimat “Masya Allah, anakku yang pintar, masih kecil sudah kuat puasa..” ataupun kalimat-kalimat lain yang membuat anak merasa senang dantersanjung.

Memberitahukan kepada mereka bahwa Allah k dan Rasul-Nya n sangat menyenangi anak-anak kecil yang melakukan ibadah puasa. Kemudian, dapat pula diberitahukan kepada mereka adanya balasan bagi orang-orang yang berpuasa, yaitu bahwa Allah k akan membuka pintu surga, khusus bagi hamba-hamba-Nya yang berpuasa, yaitu pintu “ar-Rayyan”.

Memberikan hadiah mainan atau yang selainnya, yang bersifat mendidik dan dapat melupakan anak-anak dari keinginannya untuk berbuka.

Mengadakan ifthar jama’i (buka puasa bersama), baik dilakukan dalam keluarga maupun pada lingkungan yang lebih besar lagi, yaitu seperti di masjid. Kegiatan ini akan menjadi sebuah kesempatan yang dapat menggembirakan anak-anak dalam melaksanakan ibadah puasa dan sekaligus dapat mempererat rasa persahabatan diantara mereka.

Manfaat Latihan Berpuasa bagi Anak-anak
Dengan dilatih berpuasa sejak dini, banyak manfaat dan faedah yang diperoleh anak-anak, diantaranya adalah:
Anak telah mempraktikkan secara langsung syariat ibadah puasa, dan pendidikan yang paling efektif adalah melalui praktik langsung. Dari pengalaman inilah, anak-anak akan merasa diperhatikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan demikian, mereka akan selalu berusaha untuk jujur dalam berkata dan ikhlas dalam beramal;
Melatih anak-anak agar mampu mengendalikan segala keinginannya. Dengan berpuasa, anak-anak secara otomatis berlatih untuk tidak bersikap konsumerisme (gaya hidup yg menganggap barang-barang mewah sebagai ukuran kebahagiaan), serta dijauhkan dari sikap materialistis dan boros;
Melatih anak-anak untuk bersikap sabar dalam mengendalikan potensi emosi yang ada padanya. Jiwa anak yang lebih mengedepankan emosinya, dan belum mampu berfikir jauh ke depan, terutama pada saat mempunyai keinginan terhadap sesuatu atau memiliki konflik dengan temannya, akan teredam ketika mereka menjalankan puasa. Sebagai informasi, salah satu ukuran atau ciri-ciri jika anak memiliki kecerdasan emosi yang tinggi adalah ketika seorang anak mampu menunda kenikmatan yang bersifat sementara untuk mencapai kenikmatan jangka panjang.

Berkaitan dengan hal ini, seorang pencetus teori kecerdasan emosi yang bernama Daniel Goleman mempopulerkan apa yang dikenal sebagai ”marshmallow test”. Dari hasil percobaan itu, ditemukan bahwa anak yang mampu menunda menyantap marsmallow-nya (semacam kue yang dibuat dengan campuran gula atau sirup jagung) dengan menunggu beberapa saat ketika sang peneliti kembali ke ruangan, agar mereka mendapat marsmallow lebih banyak daripada mereka yang menyantap langsung, ternyata sampai dengan usia SMU anak-anak tersebut memiliki prestasi 200 poin lebih tinggi dari teman-temannya yang memakan langsung marsmallow-nya;
Mendidik anak untuk lebih mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena mereka telah merasakan sendiri betapa nikmatnya saat berbuka. Sementara itu, di sekitar mereka masih banyak dijumpai anak-anak seusia mereka yang belum tentu mampu memperoleh kenikmatan yang mereka rasakan;
Anak lebih siap dan rindu untuk menghadapi puasa Ramadhan di tahun-tahun berikutnya.

Wallahu Ta’ala a’lam. (Rafi’ah)



Komentar